Bagi
anda yang sering mudik melalui jalur pantai utara Jawa mungkin sudah tidak
asing dengan kuliner ini. Sego megono atau nasi megono memang makanan khas yang
sudah sangat familiar di kota-kota jalur pantura seperti Pemalang, Pekalongan,
dan Batang. Menu sego megono biasanya
dijadikan sebagai menu sarapan yang murah meriah dan banyak disukai oleh
masyarakat kalangan menengah ke bawah. Bagi anda yang ingin mencicipi kuliner
ini tidak sulit untuk menemukannya. Menu sego megono banyak dijual di
pasar-pasar atau di warung-warung makan.
Sumber foto http://ridhonoor.blogspot.com/ |
Masakan
sego megono merupakan makanan yang sederhana. Sego megono menggunakan bahan
dasar nangka muda yang dicincang halus kemudian di masak dengan bumbu khas urap
yang pedas dan gurih. Tak lupa disajikan lengkap dengan sambal tauco khas
Pekalongan dan terik tempe berbalut santan serta nasi putih yang masih hangat
membuat makanan ini semakin terasa nikmat. Apalagi jika disajikan dengan
menggunakan pincuk yang terbuat dari daung pisang, hmm... membuat nafsu makan
semakin besar karena aroma harum daun pisang yang khas.
Asal
usul nama megono konon berasal dari kata mega yang berarti awan dan gegono yang
berarti angkasa. Jika digabungkan menjadi megono yang kurang lebih artinya
menjadi mego ing gegono atau awan di angkasa. Sampai di sini anda pasti
bingung, apa hubungannya awan di angkasa dengan makanan berbahan dasar nangka
muda ini?
Jadi
kurang lebih begini ceritanya, tetapi saya juga tidak bisa memastikan benar
atau tidak cerita ini, hehe. Dahulu pada masa penjajahan, konon sego megono
pertama kali muncul saat terjadinya perang kemerdekaan I dan II atau biasa
dikenal dengan agresi militer Belanda I dan II. Saat itu para pejuang berusaha
untuk tetap bisa makan dengan lauk seadanya dengan mengolah makanan menggunakan
nangka muda. Nangka muda yang diolah ini memiliki warna yang agak kecokelatan
yang terlihat agak kotor sehingga terkesan seperti awan mendung di angkasa. Mungkin
karena hal itulah makanan ini dinamakan sego megono.
Ada
juga sumber yang menceritakan bahwa sego megono ini masih ada pengaruhnya dengan
budaya dari bangsa Arab. Biasanya bagi orang Arab saat mengadakan suatu acara
akan mengakhiri acara tersebut dengan makan nasi kebuli secara bersama-sama
melingkari satu nampan besar. Budaya inilah yang kemudian diserap oleh
masyarakat Jawa. Namun karena masyarakat Jawa pada saat itu jarang mengkonsumsi
daging maka bahan dasarnya pun diganti dengan menggunakan nangka muda yang
lebih merakyat. Kota Pekalongan memang merupakan salah satu kota yang kultur
masjidnya masih sangat kental.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar